Ternate, Jhazirahmu – Dr. Syahrir Ibnu, seorang Dosen Fakultas Ilmu Budaya Prodi Antropologi Sosial Universitas Khairun (Unkhair) Ternate, dihadirkan sebagai ahli terkait sosial, budaya dan agama dalam sidang terdakwa Muhaimin Syarif yang berlangsung di Pengadilan Negeri Ternate pada Kamis, 28 November. Sidang ini dipimpin oleh Majelis Hakim Ketua Rudy Wibowo dengan dua hakim anggota lainnya.
Dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta Syahrir untuk memberikan penjelasan terkait implementasi konsep patron-client dalam hubungan antara tokoh agama seperti ulama, kiai atau ustadz dengan para jamaah atau santrinya. Penjelasan ini difokuskan pada pola perilaku yang terbentuk dalam hubungan tersebut.
Syahrir menjelaskan bahwa dalam konteks sosial-budaya, pengabdian sering diwujudkan melalui tindakan pemberian. Ia menekankan bahwa hubungan sosial yang melibatkan tokoh agama tidak sekadar mencakup transfer ilmu pengetahuan (epistemologi), tetapi juga pembentukan emosi dan kepercayaan mendalam. “Seorang ustadz berbeda dengan guru biasa,” jelasnya. Ia menambahkan bahwa tidak semua perilaku dapat disamaratakan pada sebuah tindakan, karena setiap tindakan memiliki fungsi dan konteks yang spesifik. Hal analisis secara teori dapat dijabarkan Konsep Talcot Parson dengan AGIL. Konsep AGIL merupakan teori fungsional struktural yang dikembangkan oleh Talcott Parsons untuk menjelaskan bagaimana sistem sosial mempertahankan stabilitas dan memenuhi kebutuhan dasar agar dapat bertahan dan berkembang. AGIL adalah akronim dari Adaptation (A), Goal Attainment (G), Integration (I), dan Latency (L).
Syahrir yang dihadirkan sebagai ahli sosial, budaya dan agama juga menguraikan berbagai variabel yang relevan dalam kasus ini. Pertama, terdakwa merupakan seorang entrepreneur atau pengusaha yang memiliki kemampuan finansial untuk mendukung berbagai kegiatan sosial. Kedua, terdakwa juga memiliki keterlibatan kelembagaan, termasuk menjadi bagian dari Al Khairat di wilayah Taliabu, serta sebagai ketua Umum KKST (kerukunan Keluarga Sulawesi tenggara di Maluku utara). Hal ini menunjukkan bahwa tindakannya memiliki dimensi sosial yang kompleks dan tidak dapat dinilai secara sederhana.
“Secara kemanusiaan dan ilmu sosial, kita melihat bahwa struktur perilaku seseorang sering kali dipengaruhi oleh peran yang melekat padanya. Sebagai seorang ketua kerukunan Sulawesi Tenggara Maluku Utara, perilaku terdakwa mencerminkan kebiasaan sosial dan tanggung jawab kelembagaan yang berbeda dari individu biasa,” papar Syahrir.
Ia juga menekankan pentingnya memahami referensi hubungan patron-client dalam kajian sosial dan agama, khususnya dalam tradisi Ahlul Bait. Dalam konteks ini, fungsi pemberi dan penerima harus dibaca secara mendalam dan bijak bahkan beliau menekankan pentingnya menggunakan inklusif, baik sebagai bentuk penghargaan maupun kemungkinan adanya pelanggaran hukum. “Misalnya, sebagai seorang bapak, ia akan berperilaku berbeda dengan anaknya dibandingkan sebagai seorang pengusaha. Konteks perilaku sebagan fungsi dalam peran ini sangat penting untuk dianalisis,” tambahnya.
Selain itu, JPU meminta Syahrir untuk menjelaskan bantuan yang dilakukan oleh terdakwa di berbagai tempat, termasuk masjid di Tangerang, Taliabu, Palu, dan beberapa kegiatan Al Khairat lainnya. Syahrir menggarisbawahi bahwa bantuan tersebut perlu dilihat dari perspektif sosial, budaya dan agama untuk menentukan apakah tindakan tersebut murni filantropis atau mengandung motif lain yang relevan secara hukum.
Syahrir dalam membaca perkara ini memberikan penegasan dengan mengankat dasar pikir Sigmund Freud yang menggambarkan akal pikiran manusia sebagai gunung es, di mana hanya sebagian kecil yang tampak di permukaan (pikiran sadar), sementara sebagian besar tersembunyi di bawah permukaan, yaitu alam bawah sadar dan alam tidak sadar. Dalam pandangan Freud, akal bawah sadar dan akal tidak sadar dalam konteks pemberian, tindakan tersebut sering kali berada di wilayah itu. Hal ini karena niat murni yang melandasi pemberian kerap berasal dari kecenderungan internal yang mendalam, seperti nilai-nilai budaya, kebiasaan atau refleksi kearifan lokal. Sebagai contoh, dalam masyarakat dengan tradisi gotong royong atau saling membantu, tindakan memberi bukan hanya sekadar respon rasional, tetapi juga ekspresi spontan dari sistem nilai yang telah terinternalisasi sejak lama.
Kecenderungan niat murni ini membatasi pemberian sebagai sikap budaya yang mencerminkan norma sosial dan refleksi kearifan lokal, bukan sekadar tindakan utilitarian. Dengan kata lain, pemberian tersebut lebih dilihat sebagai bentuk ekspresi solidaritas, penghormatan atau pengabdian, yang jauh dari kepentingan pribadi atau motif tersembunyi. Freud memberikan pandangan bahwa aspek-aspek yang muncul dari akal bawah sadar ini adalah cerminan dari dinamika kepribadian manusia, di mana dorongan untuk memberi sering kali berakar pada nilai-nilai yang tertanam secara mendalam dalam jiwa seseorang.