TERNATE, Jhazira – Pemerintah Kota (Pemkot) Ternate kembali disorot tajam. Dugaan pelanggaran prosedur pembayaran tanah di area Taman Landmark kian terkuak, menyusul berbagai temuan dari rapat gabungan Komisi I dan III DPRD Kota Ternate bersama Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kantor Pertanahan Kota Ternate (Kantah).
Kasus ini bermula dari sengketa lahan Landmark yang berujung pada kemenangan keluarga Litan di Mahkamah Agung (MA) melalui putusan kasasi nomor 651 K/Pdt/2024. Dalam amar putusan, Pemkot Ternate dihukum membayar ganti rugi sebesar Rp2,8 miliar kepada ahli waris pemilik sah lahan.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan, dalam proses pembayaran tersebut terdapat sejumlah kejanggalan administratif dan hukum yang diabaikan Pemkot.
Pembayaran Tanpa Alih Nama Ahli Waris
Dari hasil rapat gabungan, terungkap bahwa pembayaran Rp2,8 miliar yang dilakukan Pemkot tidak memenuhi prosedur administrasi pertanahan. Kepala Kantah Kota Ternate, Arman Anwar, menegaskan bahwa pembayaran seharusnya dilakukan setelah proses penetapan ahli waris selesai, karena nama dalam sertifikat masih tercatat atas nama Roike Litan — yang telah meninggal dunia.
“Kalau mau dibayar, harus ada penetapan ahli waris terlebih dahulu, dan ahli waris harus menyelesaikan kewajiban BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan),” kata Arman, Senin (28/4/2025) saat ditemui sejumlah wartawan di gedung kantor DPRD Kota Ternate usai rapat bersama Komisi I dan II.
Dari perhitungan, ahli waris wajib membayar BPHTB sebesar Rp125 juta ke kas daerah sebelum pembayaran ganti rugi bisa dilakukan. Namun, kewajiban ini diabaikan, dan pembayaran tetap dilakukan.
Bayar Rp2,8 Miliar, Abaikan Validasi Batas Tanah
Lebih jauh, Arman juga mengungkapkan bahwa hingga kini, pemerintah kota maupun si penjual belum mengajukan permohonan validasi batas wilayah tanah ke BPN. Artinya, lokasi persis tanah yang dibayar pun belum dipastikan secara hukum.
“Ibarat membeli kucing dalam karung. Beli lahan tapi batas-batas fisiknya tidak diketahui pasti,” tegasnya.
Padahal, berdasarkan standar pengadaan tanah sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dan PP 35 Tahun 2024 serta Permen ATR/BPN Nomor 19 Tahun 2021, setiap pengadaan tanah wajib melalui proses appraisal (penilaian independen) sebelum dilakukan pembayaran. Namun dalam kasus ini, Pemkot Ternate hanya berpegang pada putusan inkrah tanpa proses appraisal baru, sementara kondisi fisik dan administrasi tanah belum diverifikasi lengkap.
Sejarah Tanah Penuh Sengketa
Berdasarkan data, tanah di area Landmark hingga pantai Falajawa berjumlah 12 sertifikat yang diterbitkan pada tahun 1976. Namun, sempat dibatalkan oleh BPN karena berada di kawasan pesisir. Sertifikat ini kemudian dihidupkan kembali lewat putusan PTUN Jakarta Selatan pada tahun 1980-an.
Meski sertifikat dihidupkan, tidak ada penguasaan fisik atas lahan tersebut hingga saat ini. Ironisnya, pemerintah kota tetap melakukan pembayaran tanpa memastikan validitas lokasi dan status fisiknya.
DPRD Desak Evaluasi Total
Ketua Komisi I DPRD Kota Ternate, Muzakkir Ganggulu, dalam rapat tersebut mendesak agar Pemkot tidak lagi mengulangi kekeliruan serupa dalam pembayaran tanah lainnya.
“Harus ada pengkajian menyeluruh. Jangan sampai satu sertifikat dibayar asal-asalan, yang lain ikut menuntut juga,” tegas Muzakkir.
Ia menambahkan, pembayaran tanpa kejelasan fisik dan alih nama sertifikat bisa membuka potensi masalah hukum baru di kemudian hari.
Kasus pembayaran lahan Landmark ini membuka tabir lemahnya tata kelola pengadaan tanah di Pemkot Ternate. Mulai dari pengabaian administrasi ahli waris, ketidakjelasan batas lahan, hingga kelalaian menjalankan mekanisme appraisal. Dengan pembayaran yang telah dilakukan tanpa prosedur yang benar, Pemkot kini menghadapi potensi masalah hukum baru yang jauh lebih besar di kemudian hari.