TERNATE, Jhazira – Penetapan 11 warga Halmahera Timur sebagai tersangka oleh aparat kepolisian menuai kecaman dari Ikatan Pelajar Mahasiswa Wasile Kota Ternate (IPMW). Mereka menilai langkah hukum tersebut tidak mempertimbangkan akar persoalan yang melibatkan konflik adat dan lingkungan di wilayah aliran Kali Sangaji.
Ketua IPMW, Fardal Rasudin, menyatakan bahwa aksi warga pada 18 Mei 2025 bukanlah bentuk kriminalitas atau premanisme, melainkan ritual adat pendirian Panji Sangaji Maba sebagai simbol perlawanan terhadap dugaan pencemaran lingkungan oleh PT. Position.
“Tidak ada tindakan anarkis, tidak ada senjata. Ini adalah ritual budaya yang sudah lama hidup dalam masyarakat adat kami. Menyebutnya sebagai premanisme adalah bentuk pengabaian terhadap kearifan lokal,” ujar Fardal dalam pernyataan resminya, Rabu (28/5/2025).
Fardal menjelaskan, kuasa hukum para tersangka telah mengajukan praperadilan dan sidang perdana akan digelar pada 5 Juni 2025. IPMW berharap proses ini membuka ruang koreksi atas tindakan aparat yang dianggap minim dialog.
IPMW juga menyayangkan pernyataan sejumlah kepala desa yang menyebut para demonstran bukan bagian dari masyarakat adat. Menurut mereka, narasi semacam itu rawan digunakan untuk melemahkan posisi warga dalam konflik sumber daya alam.
“Pernyataan itu tidak berdasar dan berpotensi menguntungkan kepentingan ekonomi tertentu atas wilayah adat. Kepala desa yang menyuarakan hal seperti itu sebaiknya dievaluasi,” tutur Fardal.
Lebih lanjut, IPMW menyoroti belum adanya regulasi daerah yang secara eksplisit mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat di Maluku Utara. Mereka mendesak DPRD dan Pemprov segera merumuskan Perda tentang pengakuan masyarakat adat.
“Selama ini, masyarakat adat terus terpinggirkan dari proses kebijakan. Regulasi yang berpihak mutlak diperlukan,” ucapnya.
IPMW juga menyerukan pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT. Position yang dinilai bermasalah secara administratif dan menjadi sumber konflik sosial serta kerusakan lingkungan.
“Sudah terlalu lama masyarakat adat menanggung dampak buruk dari aktivitas perusahaan. Saatnya negara hadir untuk melindungi mereka,” pungkas Fardal.