SOFIFI, Jhazirah.com — Di ruang paripurna yang biasanya tenang, nada tegas dr. Haryadi Ahmad memecah suasana. “Lima puluh juta untuk bangun rumah baru? Itu nggak masuk akal!” serunya, membuat para anggota dewan menoleh.
Sorotan tajam itu ditujukan pada program Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) — salah satu proyek unggulan Gubernur Sherly Tjoanda Laos dan Wakil Gubernur Sarbin Sehe. Program yang digadang membantu warga pra-sejahtera itu justru menuai kritik karena dianggap jauh dari realitas lapangan.
Haryadi, Wakil Ketua Komisi IV DPRD Maluku Utara, mengungkap bahwa biaya material dan transportasi di wilayah kepulauan seperti Halmahera jauh lebih mahal dibandingkan di Ternate. “Jangankan bangun rumah baru, beli semen dan besi saja sudah menembus jutaan. Jadi bagaimana mungkin Rp50 juta cukup?” katanya.
Ia juga menyoroti fakta bahwa sebagian warga penerima bantuan RTLH harus menalangi kekurangan dana dari kantong sendiri — padahal mereka tergolong masyarakat kurang mampu. “Kalau begini caranya, bantuan justru menambah beban,” keluhnya.
Dalam pandangan Haryadi, pemerintah perlu mengubah paradigma: dari sekadar mengejar angka bantuan menjadi memastikan kualitas bangunan yang benar-benar layak huni.
“Rumah bukan hanya dinding dan atap, tapi juga martabat. Kalau kita bantu rakyat, bantu dengan tuntas,” ujarnya lantang.
Di sisi lain, Gubernur Sherly Tjoanda tetap optimistis. Ia berkomitmen memperluas program RTLH menjadi 1.500 unit pada tahun 2026, meski dihadapkan pada pemangkasan TKD sebesar Rp800 miliar. Program RTLH, kata Sherly, tetap menjadi simbol keberpihakan pemerintah kepada rakyat kecil.
Namun, bagi kalangan DPRD, kritik seperti yang disampaikan Haryadi menjadi alarm penting agar pemerintah tidak terjebak pada euforia program populis. Karena pada akhirnya, rumah rakyat bukan soal angka di atas kertas, tapi tentang layak tidaknya tempat tinggal yang dijanjikan negara.



















