SOFIFI, Jhazirah.com- Jhazirah.com – Kebijakan pemberian tunjangan transportasi bagi pimpinan dan anggota DPRD Provinsi Maluku Utara senilai Rp30 juta per bulan per orang menuai kritik tajam dari publik. Di tengah kondisi keuangan daerah yang terbatas dan banyaknya masyarakat yang masih bergelut dengan kesulitan ekonomi, kebijakan ini dianggap tidak berkeadilan dan sarat kepentingan pribadi.
Keputusan tersebut tertuang dalam Keputusan Gubernur Maluku Utara Nomor 247/KPTS/MU/2025, yang kala itu ditandatangani Pj. Gubernur Samsuddin Abdul Kadir pada 30 Januari 2025, sebelum Sherly Laos menjabat. Dalam keputusan itu, seluruh anggota DPRD—termasuk pimpinan—berhak atas tunjangan transportasi yang nilainya fantastis, bahkan melampaui standar kelayakan di sejumlah provinsi lain.
Sejumlah kalangan menilai kebijakan ini tidak sejalan dengan kondisi daerah. “Ini ironi! Ketika rakyat berjuang dengan harga kebutuhan pokok yang terus naik, para wakil rakyat justru menambah kenyamanan pribadi,” ujar Ketua Harian DPD Persatuan Alumi (PA) GMNI Malut Mudasir Ishak.
Pemberian tunjangan ini memang memiliki dasar hukum, mengacu pada sejumlah Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri). Namun, penerapannya dinilai tidak sensitif terhadap situasi fiskal daerah dan menimbulkan kesan pemborosan di tengah keterbatasan APBD.
Publik kini menuntut transparansi dan evaluasi total terhadap kebijakan belanja aparatur, termasuk pos tunjangan DPRD. Sejumlah aktivis mahasiswa bahkan mengancam akan menggelar aksi protes jika pemerintah provinsi tidak membuka data perhitungan dasar pemberian tunjangan tersebut.
“Kalau terus begini, kepercayaan publik terhadap DPRD akan anjlok. Mereka harus membuktikan diri sebagai wakil rakyat, bukan penikmat anggaran,” tegas Mudasir



















