Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
BeritaDaerahHeadline

Ketika Kritik Dibalas Buzzer: Potret Buram Demokrasi Maluku Utara

20
×

Ketika Kritik Dibalas Buzzer: Potret Buram Demokrasi Maluku Utara

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

TERNATE, Jhazirah – Suasana rapat paripurna DPRD Maluku Utara pada awal November itu seharusnya menjadi ruang diskusi anggaran, bukan panggung politik yang berujung pada serangan maya. Namun, setelah Nazla Ukhra Kasuba melontarkan kritik tajam terhadap Gubernur Sherly Tjoanda, gelombang buzzer politik pun menyerbu jagat media sosial.

Nazla hanya menjalankan fungsi pengawasan DPRD—menyoroti turunnya nilai APBD Malut dari Rp3,1 triliun menjadi Rp2,7 triliun, dan mempertanyakan absennya Gubernur Sherly dalam rapat pembahasan APBD 2026.

Example 300x600

“Penurunan APBD hampir 20 persen adalah bukti gagalnya diplomasi fiskal pemerintah. Parahnya, gubernur bahkan tidak hadir,” tegas Nazla dalam forum tersebut.

Namun, kritik konstruktif itu malah berbalik menjadi peluru politik. Puluhan akun anonim muncul dengan komentar bernada seksis, merendahkan, bahkan menyerang identitas pribadi Nazla. Kritik substantif soal kebijakan publik pun ditenggelamkan dalam arus ujaran sarkastik.

Samsul Hamja, akademisi dan aktivis Maluku Utara, menyebut fenomena ini sebagai “tanda bahaya” bagi demokrasi daerah.

“Kritik yang seharusnya dijawab dengan data dan argumen justru dibalas serangan buzzer. Ini bukan demokrasi, tapi pembungkaman digital,” ujarnya tegas.

Menurut Samsul, buzzer politik kini menjadi alat baru kekuasaan untuk membentuk persepsi publik dan membungkam kritik. Jika dibiarkan, kata dia, ruang demokrasi di daerah akan menyempit, dan rakyat kehilangan kepercayaan pada proses politik yang sehat.

Ia menegaskan, fungsi DPRD untuk mengawasi pemerintah daerah dilindungi konstitusi. Serangan terhadap anggota dewan yang menjalankan tugasnya bukan hanya pelanggaran etika, tetapi juga bentuk intimidasi politik terselubung.

“Demokrasi bukan tentang siapa yang paling banyak followers, tapi siapa yang paling bertanggung jawab pada rakyat,” pungkasnya.

Di tengah riuh serangan buzzer dan polarisasi digital, kritik Nazla justru membuka perdebatan penting: apakah demokrasi lokal di Maluku Utara masih hidup, atau perlahan mati dibungkam algoritma dan kepentingan politik?

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Example 300250