TERNATE, Jhaziramu — Aksi demonstrasi menolak pemekaran Daerah Otonom Baru (DOB) Sofifi sebagai ibu kota definitif Provinsi Maluku Utara memanas hingga ricuh pada Rabu (23/7/2025). Ratusan warga Tidore Kepulauan yang turun ke jalan terlibat bentrok dengan massa pro-DOB, bahkan terekam membawa senjata tajam. Bentrokan saling lempar batu sempat membuat situasi mencekam.
Kericuhan ini memantik keprihatinan dari akademisi Universitas Khairun (Unkhair) Ternate, Abdul Kadir Bubu. Menurutnya, konflik yang terjadi sudah masuk ranah resistensi sosial dan kultural.
“Kesultanan Tidore secara konsisten menolak DOB Sofifi, sementara masyarakat Oba tetap bersikukuh memperjuangkannya. Pemerintah pusat harus segera mengevaluasi status Sofifi secara menyeluruh,” kata Dade — sapaan akrabnya — kepada wartawan di Ternate.
Ia menilai pemerintah tidak boleh memaksakan penentuan ibu kota jika hanya menimbulkan konflik baru. Dade pun mengusulkan dua wilayah alternatif yang dinilainya lebih netral, yakni Sidangoli dan Kao-Malifut.
“Kedua wilayah ini punya jejak historis dalam wacana pemekaran Maluku Utara sejak awal. Letak geografisnya juga strategis dan secara sosial relatif lebih bisa diterima semua pihak,” jelasnya.
Dade menekankan penentuan ibu kota provinsi harus mengedepankan pendekatan ilmiah, historis, dan musyawarah, bukan hanya kepentingan politik sesaat.
“Tujuan kita menghindari munculnya luka sejarah baru yang memperdalam konflik antarwarga. Pemerintah pusat harus hadir sebagai penengah yang adil, mendengar suara Kesultanan Tidore maupun masyarakat pendukung DOB Sofifi,” tegasnya.
Ia berharap keputusan soal pemekaran Sofifi dapat diambil dengan bijak demi menjaga stabilitas dan persatuan di Maluku Utara.