JAKARTA, Jhazirah.com — Kunjungan kerja Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoanda Laos ke Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (22/10/2025) menuai sorotan tajam. Alih-alih hanya membahas koordinasi dan peningkatan nilai Monitoring Center for Prevention (MCP), kunjungan tersebut justru berubah menjadi polemik setelah Sherly dicecar pertanyaan wartawan terkait dugaan keterlibatan dalam bisnis tambang ilegal.
Sherly yang hadir bersama sejumlah pejabat Pemerintah Provinsi Maluku Utara sempat menyampaikan pernyataan singkat soal agenda konsultasi MCP. Namun, suasana mendadak berubah ketika isu kepemilikan saham di PT Karya Wijaya mencuat.
Ekspresi panik Gubernur saat menanggapi pertanyaan wartawan terekam kamera dan menjadi viral di media sosial.
Ketua Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI) Maluku Utara, Sarjan H. Rivai, menilai reaksi Sherly tersebut memperkuat dugaan publik.
“Selama ini publik hanya disuguhi pencitraan. Tapi saat dikonfrontasi dengan isu tambang, Gubernur terlihat kehilangan arah bicara,” ujarnya.
Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Kepala Satgas Korsup Wilayah V, Dian Patria, mengungkapkan adanya ketidaksesuaian data IUP (Izin Usaha Pertambangan) antara Kementerian ESDM dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Kondisi ini mengindikasikan tumpang tindih izin dan aktivitas tambang ilegal di sejumlah wilayah Maluku Utara, termasuk Pulau Gebe di Kabupaten Halmahera Tengah.
Ketua Pemuda Solidaritas Merah Putih (PSMP) Maluku Utara, Mudasir Ishak, menambahkan bahwa perusahaan yang diduga terafiliasi dengan nama Gubernur itu juga bermasalah secara lingkungan.
“Limbah tambang sudah mencemari laut di sekitar pelabuhan dan permukiman warga. PT Karya Wijaya ini diduga beroperasi tanpa izin lengkap,” tegas Mudasir.
Ia mendesak aparat penegak hukum segera turun tangan mengusut pelanggaran dan menindak tegas pihak yang terlibat, sejalan dengan komitmen Presiden Prabowo Subianto untuk memberantas tambang ilegal.
Dugaan kepemilikan saham oleh Gubernur Sherly di perusahaan tambang tersebut menimbulkan konflik kepentingan serius dalam tata kelola pertambangan di Maluku Utara.
Kasus ini pun menjadi ujian besar bagi kredibilitas pemerintahan daerah dan komitmen pemberantasan korupsi di sektor sumber daya alam.



















