SOFIFI, Jhazirah.com — Ketika rakyat Maluku Utara masih berjuang melawan kemiskinan ekstrem dan harga bahan pokok yang terus naik, para pejabat di pucuk pemerintahan justru hidup dalam kemewahan yang mencolok.
Dalam dokumen RAPBD 2026, terungkap bahwa anggaran rumah tangga Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda Laos, mencapai Rp 14 miliar per tahun. Jika dihitung, angka itu setara dengan Rp 39 juta per hari — cukup untuk memberi makan ratusan keluarga miskin setiap harinya.
Tak berhenti di situ, Wakil Gubernur Sarbin Sehe menikmati anggaran rumah tangga Rp 8,5 miliar per tahun, dan Sekda Samsuddin Abdul Kadir sebesar Rp 824 juta. Bila dijumlahkan, ketiganya menghabiskan Rp 23,4 miliar hanya untuk kebutuhan internal.
Ironisnya, kebijakan ini muncul di saat APBD Malut sedang mengalami penurunan drastis. Pendapatan daerah tahun 2026 diproyeksikan merosot Rp 806 miliar dibanding tahun sebelumnya, dengan defisit mencapai Rp 23,2 miliar dan utang menumpuk lebih dari Rp 800 miliar.
Namun, alokasi fantastis untuk kebutuhan konsumtif justru tetap dipertahankan — bahkan diperkuat. Hanya untuk biaya komunikasi Gubernur, tercatat lebih dari Rp 11 miliar, tersebar di beberapa unit kerja di lingkup Setda.
Para pengamat menyebut kondisi ini sebagai “simbol ketimpangan moral anggaran.” Pemerintah daerah diminta menjelaskan dasar rasionalisasi penggunaan dana publik sebesar itu di tengah situasi fiskal yang memburuk.
Hingga kini, Sekda Malut Samsuddin Abdul Kadir belum memberikan klarifikasi. Namun publik sudah lebih dulu bereaksi keras — menilai bahwa praktik seperti ini memperdalam jurang ketimpangan antara rakyat dan penguasa.
“Rakyat butuh program ekonomi dan kesehatan, bukan angka miliaran untuk konsumsi pejabat,” tulis salah satu komentar warganet di media sosial.
Bagi masyarakat Maluku Utara, anggaran rumah tangga pejabat ini bukan sekadar angka. Ia telah menjadi simbol ketimpangan, ketika kesejahteraan rakyat dikorbankan demi selera mewah mereka yang berkuasa.



















