JAKARTA, Jhazirah– PT Karya Wijaya terancam sanksi berat usai Lembaga Pengawasan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (LPP Tipikor) Maluku Utara menggelar aksi di depan Kantor Kejaksaan Agung RI, Senin (10/11/2025). Aksi ini menyoroti dugaan kelalaian puluhan perusahaan tambang di Maluku Utara, termasuk PT Karya Wijaya, dalam menempatkan Dana Jaminan Reklamasi dan Pascatambang sebagaimana diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Minerba dan PP Nomor 78 Tahun 2010.
Ketua LPP Tipikor Malut, Zainal Ilyas, menegaskan bahwa kegiatan tambang tidak hanya soal investasi, tetapi juga tanggung jawab hukum dan sosial.
“Perusahaan yang tidak menyetor dana reklamasi berarti mengabaikan konstitusi dan berpotensi merugikan negara,” ujarnya.
Temuan tersebut berlandaskan pada Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dengan Nomor 21.a/LHP/XVII/05/2024, yang mengungkap kelalaian sejumlah perusahaan tambang di Maluku Utara.
Selain PT Karya Wijaya, BPK mencatat ada lebih dari 20 perusahaan yang belum memenuhi kewajiban penempatan dana reklamasi, di antaranya PT Nusa Karya Arindo, PT Mineral Trobos, PT Gane Tambang Sentosa, PT Intim Mining Sentosa, dan PT Obi Prima Nikel.
Menurut Zainal, kondisi ini sangat berbahaya bagi lingkungan dan kredibilitas tata kelola sumber daya alam di Maluku Utara.
“Tanpa jaminan reklamasi, tambang bisa meninggalkan kerusakan permanen. Negara kehilangan potensi miliaran rupiah,” tegasnya.
LPP Tipikor mendesak Kementerian ESDM dan penegak hukum untuk menindaklanjuti temuan BPK tersebut. Zainal juga menekankan bahwa pasal 96 huruf (c) UU Minerba secara tegas mewajibkan perusahaan menempatkan dana jaminan reklamasi dan pascatambang sebelum melakukan kegiatan produksi.
“Ini bukan persoalan teknis, tetapi soal moral dan kepatuhan hukum. Investasi harus beretika,” pungkas Zainal.



















