HALTIM, Jhazira-Di tengah sunyinya kampung Maba Sangadji, suara keresahan pelan-pelan berubah menjadi teriakan. Sejak PT Position mulai melakukan aktivitas tambang di wilayah mereka, air yang dulunya jernih kini keruh. Ladang tak lagi subur. Warga mulai gelisah.
Pada Jumat, 16 Mei 2025, mereka memutuskan untuk angkat suara. Sebuah demonstrasi digelar—damai, penuh harap agar didengar. Tapi apa yang mereka dapat? Label “premanisme”, dan 11 warga ditangkap oleh aparat kepolisian.
Supriadi R. Hambali, dari Badko HMI Maluku Utara, menyebut perlakuan terhadap warga Maba sebagai bentuk kriminalisasi terhadap suara rakyat.
“Ini bukan premanisme. Ini jeritan warga yang hidupnya dirusak tambang,” ujarnya, Kamis (22/5).
Menurut Supriadi, menyebut para petani membawa alat tajam sebagai dasar untuk penangkapan adalah bentuk kekeliruan. “Petani membawa alat kerja mereka, bukan senjata. Tidak ada kontak fisik, tidak ada kekerasan,” katanya.
Ia mengecam keras langkah Polda Maluku Utara yang menurutnya tidak proporsional. Ia juga mendesak Bupati Halmahera Timur untuk segera mengambil sikap tegas terhadap PT Position.
“Masyarakat butuh air, bukan janji. Mereka butuh sawah, bukan lubang tambang,” tambahnya.
Supriadi juga menyinggung konflik agraria yang kian marak di Halmahera Timur. Tanah adat, hak ulayat, semua mulai digerus demi kepentingan investasi yang menurutnya tak berpihak pada warga lokal.
“Kalau dibiarkan, ini akan menjadi luka sosial yang dalam. Merusak ruang hidup berarti merampas masa depan. Itu pelanggaran hak asasi manusia,” tutupnya.