TERNATE, Jhaziramu — Sengketa lahan di tiga kelurahan di Kota Ternate memicu polemik usai sejumlah warga disomasi oleh Polda Maluku Utara. Bambang Kiswadi, warga Kelurahan Kayu Merah yang juga pernah menjabat ketua panitia penyelesaian sengketa pada 2003, menolak somasi tersebut.
Bambang menilai dirinya tidak memiliki hubungan hukum dengan Polda Malut.
“Saya tidak pernah merasa melawan hukum. Saya tidak terima disomasi,” kata Bambang, Kamis (24/7) malam.
Ia menjelaskan, sejak datang ke Ternate pada 1980, ia mengetahui riwayat lahan tersebut. Menurut Bambang, permohonan penggunaan lahan dilakukan Batalion Ex Brimob 1028 yang kini sudah tidak aktif.
“Kalau dulu yang ajukan Ex Brimob 1028. Mereka sudah pensiun, tidak terkait institusi lagi,” jelasnya.
Bambang juga menyebut, klaim penguasaan sejak 1969 tidak didukung penjelasan resmi siapa pemohon awalnya.
“Yang saya tahu, Pak Huka dan kawan-kawan yang dulu ajukan permohonan. Kalau sekarang dibilang dikuasai sejak 1969, ya kadaluarsa,” ucapnya.
Ia pun menegaskan, lahan dibeli warga melalui transaksi sah.
“Kalau dibilang kami menduduki tanah polisi, bagaimana mungkin? Warga beli dari Ex Brimob secara resmi,” tandasnya.
Kejanggalan lain disampaikan Mato, warga Ubo-Ubo. Ia mempertanyakan perbedaan keterangan di surat somasi dan papan peringatan.
“Di surat disebut sertifikat hak pakai Nomor 3 Tahun 2006, tapi di papan peringatan jadi hak milik. Aneh, peralihannya terlalu cepat,” kata Mato.
Selain itu, Mato juga menyoroti ketidaksesuaian luas lahan.
“Di somasi tertulis 4,5 hektare, di penempatan ke kami 4,9 hektare. Itu sudah janggal,” ujarnya.
Ia juga menilai klaim tanah kosong pada 2006 tidak masuk akal.
“Sebelum kerusuhan saja sudah padat rumah. Jadi klaim sertifikat tahun 2006 itu batasnya dari mana? Kami tidak pernah lihat pematokan di lapangan,” pungkasnya.